Wednesday, March 27, 2013

Ikut SM3T, Seperti Berwisata Selama Setahun

Google Ads
Laporan WAKHUDIN dari Kabupaten Kupang, NTT

PESERTA program Sarjana Mendidik Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) hidup sengsara atau nyaman? Tergantung dari perasaan dan pikiran masing-masing. Seseorang yang memiliki perasaan dan pikiran negatif mengatakan, hidup di daerah terdepan, terluar dan tertinggal, apalagi masih terisolasi, pasti sengsara. Sarana dan prasarana serba terbatas. Bahkan, listrik pun belum masuk. Apalagi, menuju tempat tujuan tidak cukup ditempuh dalam sehari semalam dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan itu pun harus menunggu oto (mobil pick up bak terbuka) yang datangnya seminggu sekali. Pasti, tidak ada pilihan lain kecuali sengsara dan menderita.2
Namun orang yang berpikir positif mengatakan, menjadi peserta SM3T laksana berwisata selama setahun. Peserta SM3T memang harus mengabdi di daerah yang letaknya nun jauh di ujung kota selama setahun. Orang yang menerima tugas ini dengan ikhlas merasakan bahwa perjalanan ini tak ubahnya berwisata yang dibiayai negara. Bayangkan , mereka tinggal di tepi pantai yang masih sangat eksotik, belum dijamah oleh wisatawan secara massal. Itulah sebabnya, pantainya bersih. Kerikil dan bebatuan yang berada di tepi pantai tak ubahnya seperti berada di akuarium besar, lembut, halus, bersih, dan berkilauan. Bahkan tidak mustahil, kerikil pantainya kalau digosok bisa menjadi batu akik.
“Makan di daerah pantai seperti di Simau ini juga seadanya. Lauknya cukup menggunakan ikan laut, cumi-cumi, gurita, udang , kepiting dan rajungan, atau kadang-kadang lobster,” kata Indra Gerhana, peserta SM3T lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Universitas Pendidikan Indonesia saat ditemui di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Kota Kupang, 22 Maret 2013.3
Menikmati sea food seperti yang diceritakan Indra memang merupakan kehidupan seadanya. Maklum, Kecamatan Simau, Kabupaten Kupang, NTT ini memang menghasilkan berbagai macam makanan laut. Itulah sebabnya, masyarakat setempat dengan mudah mendapatkan berbagai makanan yang menurut orang kota sebagai makanan mewah.
Tinggal di tepi pantai, bagi Indra, memang benar-benar seperti turis. Di pagi buta, ia bisa menikmati pantai sambil menyaksikan matahari terbut (sun rise), sebelum pergi ke sekolah untuk mengajar. Di sore hingga malam hari, ia bisa menikmati deburan ombak sembari menjadi saksi matahari tenggeram(sun set).
Daerah Semau Selatan di mana Indra ditugaskan memang sangat indah, dibandingkan Kabupaten Kupang pada umumnya yang gersang. Namun di balik gersangnya tanah Kupang, menyimpan ribuan, bahkan jutaan keindahan. Itulah sebabnya, lulusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi FPOK UPI ini mensyukuri apa pun tugas yang diembankan kepadanya tanpa keluhan.4
Ia memang ditugaskan mengajar olahraga di sekolah dasar, tepatnya di SD Negeri Pahlelo, Semau Selatan, Kabupaten Kupang. Namun pada kenyataannya, ia harus mengajar berbagai mata pelajaran lain di luar olahraga. Indra harus mengajar Pendidikan Kewarganegaraan, Matematika, bahkan mengajar agama. “Kebetulan di SD tempat saya mengajar terdapat dua orang Muslim. Mereka harus mendapatkan mata pelajaran agama Islam. Maka saya ditunjuk untuk mengajar agama, meskipun murid saya lebih lancer membaca Alquran dari saya,” ujar Indra.
Menjadi guru SD, bagi Indra, bukanlah masalah. Ia menikmatinya sebagai anugerah Tuhan. Ia merasa menjadi bapak dari anak-anak yang diasuhnya. Ia tidak sekadar menjadi guru pengajar di depan kelas, tapi juga pembimbing kehidupan. Justru dengan mengajar, Indra mengaku banyak belajar. Belajar tentang ilmu pengetahuan, belajar bersabar, belajar manajemen dan administrasi, belajar berorganisasi, dan sebagainya.
Di luar jam belajar-mengajar, Indra memiliki cukup waktu untuk berjalan-jalan di sekeliling kampong dan desanya. Berbagai wilayah yang dilaluinya terasa begitu indah, berbeda dari situasi di indah kampungnya di Garut. Dia membayangkan, kalau saja Kupang menjadi daerah tujuan wisata (DTW), maka Simau Selatan merupakan tujuan wisata yang paling berharga dan digemari wisatawan. Wisatawan bisa berenang, menyelam, dan bahkan bisa bermain ski air.5
Walaupun tinggal di rumah berlantai tanah, Indra juga tidak pernah mengeluh. Ia benar-benar menikmatinya sebagai wisatawan yang tinggal untuk satu tahun. Kalau ingin tidur di atas tegel, ia justru pergi ke kuburan. Karena, makam di daerah Semau selalu dikeramik dan tidak terkesan angker. “Justru di kuburan ini, saya mendapatkan sinyal telefon seluler. Di tempat lain sulit. Sembari tiduran di atas makam, saya bisa menikmati laut dan sambil menelefon sanak kerabat. Saya sering memotret tempat-tempat yang indah dan mengirimkan gambarnya ke keluarga. Ternyata, keluarga justru merasa senang dan ingin datang ke tempat saya bertugas,” ujar Indra.
Masyarakat di daerah NTT sangat ramah. Meskipun peserta SM3T pada umumnya beragama Islam, namun mereka menerima dengan baik. Masyarakat setempat sangat tolerans dan menghargai kepercayaan pendatang. Itulah sebabnya, peserta SM3T kerap diminta memotong ayam, bahkan sapi untuk hajatan mereka. Dengan dipotong oleh orang Islam, peserta SM3T bisa ikut menikmati daging di pesta mereka.
Itulah sebabnya, Indra menyarankan para sarjana tidak perlu takut datang ke daerah terpencil dan terisolir. Sebab, di balik lokasi yang terkesan menyeramkan itu justru terdapat keindahan yang tiada tara. Indah tidaknya suatu wilayah berada di hati, bukan berada di mata. Niat hati yang tulus untuk mengabdi bagi anak bangsa menyebabkan setiap derita dapat dilupakan. Sebaliknya, mensyukuri apa pun nikmat Tuhan, menyebabkan apa pun yang ditemuinya sebagai anugerah. (Fotofoto: Indra Gerhana)
6

Google Ads
Facebook Twitter Google+

 
Back To Top